Restorative Justice Jadi Solusi Perdamaian dalam Kasus Pidana: Kasus Penadahan hingga Penganiayaan Berhasil Diselesaikan Tanpa Pengadilan
Jakarta, suararepubliknews.com – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual pada Kamis, 17 Oktober 2024, guna menyetujui enam permohonan penghentian penuntutan perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice). Salah satu kasus yang mendapat persetujuan penghentian adalah perkara penadahan sepeda motor oleh Tersangka Bulkhairi bin Munir, yang ditangani oleh Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti.
Perkara ini bermula dari kejadian pada Minggu, 4 Agustus 2024, ketika Tersangka Bulkhairi, seorang montir di Gampong Cot Tunong, Kecamatan Juang, Kabupaten Bireuen, menerima tawaran sepeda motor tanpa dokumen lengkap dari saksi M. Arif bin M. Husen dan saksi Junaidi (DPO) dengan harga Rp 2 juta. Bulkhairi membayar tunai Rp 500 ribu dan sisanya Rp 1,5 juta ditransfer melalui rekening istri saksi. Beberapa hari kemudian, Tersangka ditangkap polisi karena diduga melakukan tindak pidana penadahan.
Proses Penyelesaian Melalui Restorative Justice di Pidie
Setelah melalui proses hukum, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti, Jaksa Fasilitator Yudha Utama Putra, menginisiasi penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice. Permohonan penghentian penuntutan dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Drs. Joko Purwanto, S.H., yang menyetujui usulan tersebut. Dalam ekspose Restorative Justice yang dipimpin oleh JAM-Pidum, perkara ini akhirnya disetujui untuk dihentikan.
Lima Perkara Lain yang Diselesaikan dengan Restorative Justice
Selain kasus penadahan di Bireuen, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian lima perkara lainnya melalui keadilan restoratif, yaitu:
- Tersangka Nurhaida M. Tampubolon dari Cabang Kejaksaan Negeri Toba Samosir di Porsea, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Refil Hidayah bin Yusman dari Kejaksaan Negeri Simeulue, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Tofiq Wirawan alias Upik bin Marliansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Timur, yang terjerat Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan/atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
- Tersangka I Abunsio bin Sadek dan Tersangka II Hengky Jaya Sintanu bin Suriansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Timur, yang didakwa melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
- Kasus penggelapan serupa juga melibatkan Tersangka I Abunsio dan Hengky Jaya Sintanu, dengan dakwaan yang sama.
Alasan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice
Beberapa alasan yang mendasari pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain:
- Telah dilaksanakan proses perdamaian antara tersangka dan korban, di mana tersangka meminta maaf dan korban memaafkan.
- Tersangka belum pernah dihukum sebelumnya dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana dalam kasus ini tidak lebih dari lima tahun penjara.
- Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, serta proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa paksaan.
- Korban dan tersangka sepakat untuk tidak melanjutkan perkara ke persidangan karena dianggap tidak membawa manfaat yang lebih besar.
Restorative Justice: Kepastian Hukum dan Respon Positif dari Masyarakat
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri diminta untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022,” ujar JAM-Pidum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana.
Pewarta: Mzr & Stg
Editor: Stg
Copyright © suararepubliknews 2024