Kepulan asap dari pencegatan rudal di atas Israel utara dan kebakaran akibat serangan udara di Lebanon selatan menunjukkan kekhawatiran bahwa perang Gaza dapat meluas menjadi konflik yang lebih luas, yang menurut para analis menimbulkan risiko bagi kedua belah pihak.
Yerusalem, suararepubliknews.com – Sayyed Hassan Nasrallah, kepala Hizbullah, mengeluarkan ancaman keras bahwa tidak ada tempat di Israel yang akan aman jika terjadi perang, termasuk Siprus dan bagian lain dari Mediterania. Ini merupakan pernyataan terbaru dalam rentetan retorika dari kedua belah pihak. Hizbullah telah menembakkan roket ke Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap sekutunya di Palestina, Hamas, sejak perang Gaza meletus pada bulan Oktober lalu, yang memaksa puluhan ribu orang mengungsi dari rumah-rumah mereka di Israel. Tekanan politik di Israel semakin meningkat untuk mengambil tindakan yang lebih keras.
Pengungsian dan Serangan Udara
Puluhan ribu warga Lebanon juga telah meninggalkan rumah mereka setelah serangan Israel di Lebanon selatan. Khawatir akan risiko tergelincir ke dalam perang yang dapat menyebar ke seluruh wilayah, Presiden AS Joe Biden mengirim utusan khususnya Amos Hochstein untuk memulai babak baru diplomasi minggu ini. Menteri Luar Negeri Antony Blinken juga mengingatkan para pejabat Israel untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.
Serangan Balasan dan Pembalasan Hizbullah
Pada hari Kamis, jet-jet Israel menghantam target-target di Lebanon selatan dan menewaskan seorang pejuang Hizbullah yang diidentifikasi sebagai komandan operasi kelompok tersebut di daerah Jouaiyya. Dilansir dari media Reuters, Hizbullah mengakui pembunuhan itu namun tidak mengidentifikasinya sebagai komandan. Setelah jeda sejenak selama liburan Idul Fitri, Hizbullah kembali menembakkan puluhan rudal ke Israel.
Analisis dan Risiko Perang Besar
Para analis berpendapat bahwa baik Israel maupun Hizbullah tidak benar-benar ingin terlibat dalam perang besar, namun kemungkinan ke arah sana tetap ada. “Tidak ada satu pun pilihan yang baik, namun pertanyaan besarnya adalah, seberapa besar penderitaan Israel akibat serangan ini?” ujar Orna Mizrahi, mantan pejabat di Dewan Keamanan Nasional Israel.
Di Lebanon, komentar Nasrallah membuat banyak orang bersiap-siap untuk perang yang lebih luas. Namun beberapa diplomat dan analis mengatakan bahwa ancamannya merupakan upaya untuk menandingi retorika yang meningkat dari Israel. “Bagi saya, sekarang ini adalah bagian dari strategi pencegahan,” kata Hubert Faustmann, analis politik dan profesor sejarah dan hubungan internasional di Universitas Nicosia.
Kekuatan Militer dan Potensi Eskalasi
Hizbullah telah mengindikasikan bahwa mereka tidak menginginkan konflik yang lebih luas, meskipun mereka terus menambah persenjataan yang lebih kuat. Sementara Israel memiliki tentara paling kuat di Timur Tengah, Hizbullah memiliki ribuan pejuang berpengalaman dan puluhan ribu rudal yang mampu menghantam kota-kota di seluruh Israel. Hizbullah juga memiliki armada pesawat tak berawak yang besar, yang mampu mengancam infrastruktur ekonomi utama Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa Israel akan “mengubah Beirut menjadi Gaza” jika terjadi perang. Namun, eskalasi yang lebih luas juga dapat membuat Israel kewalahan menghadapi sistem pertahanan rudal Iron Dome yang terkenal, yang sejauh ini telah mencegat sebagian besar dari ratusan rudal yang ditembakkan Hizbullah.
Persiapan dan Penilaian Militer
Selama berminggu-minggu, para komandan Israel telah mengadakan latihan dan penilaian sebagai persiapan untuk menghadapi apa yang disebut militer sebagai “kenyataan di mana kita harus bertempur dalam skala yang berbeda di utara.” Pertempuran di Gaza, medan perang utama sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober lalu, terus berlanjut. Para pejabat Israel menilai bahwa akhir dari fase utama pertempuran tinggal beberapa minggu lagi.
Dampak dan Pengungsian Warga
Puluhan kota di Israel menjadi sepi, dengan sekitar 60.000 orang dievakuasi ke tempat penampungan sementara. Sekitar 90.000 orang juga telah mengungsi dari Lebanon selatan. Sarit Zehavi, mantan pejabat intelijen militer Israel, mengatakan bahwa setelah trauma yang dialami Israel pada 7 Oktober lalu, hanya sedikit dari mereka yang siap untuk kembali ke rumah mereka sementara Hizbullah masih bercokol di perbatasan.
Risiko konflik yang lebih luas antara Israel dan Hizbullah terus meningkat, meskipun kedua belah pihak tampaknya tidak menginginkan perang besar. Dengan ancaman yang terus berlanjut dan serangan yang meningkat, diplomasi internasional dan upaya mediasi menjadi semakin penting untuk mencegah eskalasi yang lebih besar. (Stg)