Home / Tak Berkategori

Kamis, 11 Juli 2024 - 12:05 WIB

Resensi Buku: “Lakhes (Keberanian)” (2021) karya Platon

"Lakhes (Keberanian)" (2021) karya Platon

Bandung, suararepubliknews.com – Setiap insan yang masih bisa menghembuskan napas harus memiliki keberanian dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Tanpa keberanian, seseorang akan terseok-seok dan tidak mendapatkan pengakuan di dunia ini. Ia akan cenderung dicela, dicerca, dan diejek dengan sebutan pengecut. Lalu, apa sebenarnya yang disebut dengan keberanian? Seperti apakah pribadi yang memiliki jiwa pemberani?

Keberanian dalam Berbagai Perspektif

Anak kecil dengan imajinasinya yang liar mungkin akan mengaitkan keberanian pada sosok Superman, Batman, Thor, atau para superhero Marvel lainnya. Para superhero tersebut dengan kekuatan super manusiawi mempunyai cita-cita untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan.

Lebih maju dari itu, kaum mahasiswa dengan impian akan pembebasan dan kemerdekaan yang hakiki, melihat keberanian pada sosok Wiji Thukul, Munir Said Abi Thalib, atau Tan Malaka. Mereka adalah sosok yang berani mempertaruhkan hidupnya untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang kecil di sekitarnya.

Berbeda dengan itu, para agamawan yang fanatik dan revivalis mungkin akan mengaitkan keberanian pada sosok Imam Samudra, Mohammad Atta, atau Usama bin Laden. Para teroris tersebut dengan prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang diinterpretasikan secara reduktif, rela mengorbankan dirinya walaupun dengan cara mengorbankan orang-orang yang dianggap liyan.

Ontologi Keberanian dalam “Lakhes”

Di antara definisi keberanian yang beragam seperti di atas, agaknya perlu untuk mendemonstrasikan secara ontologis apa itu keberanian. Di sinilah letak krusial buku Lakhes: Keberanian. Buku yang merupakan dialog muda Platon ini berupaya untuk menjelaskan sekomprehensif mungkin mengenai apa itu keberanian. Dengan terjemahan yang apik dan komentar yang bernas dari Romo Setyo Wibowo, buku ini layak dibaca oleh para pelajar filsafat.

Sekitar 2000 tahun yang lalu, mungkin pada tahun 424 SM, terjadi dialog yang cukup menegangkan mengenai keberanian antara Sokrates, Lakhes, Nikhias, Lysimakhos, dan Melesias di Palaistra atau gymnasium. Dialog yang awalnya membicarakan tentang keprihatinan Lysimakhos dan Melesias terhadap krisis pendidikan anak muda di Athena secara perlahan menjurus pada persoalan keberanian.

Belum ada kesimpulan yang tepat mengenai pergeseran tema tersebut, namun yang patut dicatat ialah dialog tersebut berakhir secara aporetik (buntu). Penyebabnya ialah karena argumen-argumen yang diberikan Lakhes dan Nikias terus disanggah oleh Sokrates. Seperti biasanya, filsuf besar Yunani tersebut berambisi untuk mencari definisi yang universal mengenai keberanian. Artinya, definisi itu bisa dipakai dalam semua kasus: setiap orang dan setiap tempat.

Keberanian: Pengalaman Otentik dan Konkret

Padahal, keberanian adalah pengalaman otentik dan konkret yang hampir mustahil untuk terulangi. Ia bisa saja tiba-tiba muncul dan pelakunya bekerja di bawah alam sadar. Namun, tak jarang pula ia muncul karena ditekan oleh sebuah kepentingan. Dari sini muncul definisi keberanian yang beragam. Maka, menggunakan analisa deduktif untuk menguniversalisasi keberanian memang sangat susah.

Meski demikian, terdapat kriteria-kriteria tertentu mengenai apa yang disebut dengan keberanian. Dalam dialog Lakhes, keberanian tidak direpresentasikan sebagai tindakan heroik dalam konteks perkelahian, pertempuran, atau peperangan. Bahkan, tindakan gembong teroris yang berani mempertaruhkan nyawanya tak dapat disebut keberanian.

Keberanian dan Episteme

Keberanian tidak boleh tidak harus disertai dengan episteme (sains, ilmu, dan pengetahuan). Orang mesti tahu tentang “apa yang harus ditakuti dan apa yang harus dipercayai” untuk bisa disebut sebagai sosok pemberani. Percuma orang siap menghadapi apapun atau bahkan mengorbankan dirinya bila tak disertai dengan pengetahuan. Tindakannya kelak bisa terjerumus dalam level epithumia yang mengurusi persoalan perut dan seks. Artinya, keberaniannya hanya digunakan untuk mencari makan, minum, dan melampiaskan nafsu seks belaka.

Ada yang lebih maju dari level tersebut yakni, thumos. Namun, sekali lagi, level ini belum bisa dikatakan sebagai manifestasi dari keberanian. Pasalnya, level ini masih terjerembap dalam euforia kegagahan, kemegahan, atau mementingkan ego. Dengan kata lain, keberaniannya dideterminasi oleh sifat ingin dikenal, merengek minta pujian, atau merasa paling benar sendiri.

Keberanian yang hakiki berada pada level logostikon. Orang yang berada pada level ini adalah orang yang sudah bisa mengendalikan level epithumia dan thumos. Karena itu, ia sudah tak lagi terpedaya oleh nafsu bawah perut (makan, minum, dan seks) atau nafsu dada (kegagahan atau harga diri) dan menggunakan rasionya untuk memilih mana yang benar-benar baik sebelum bertindak.

Melawan Musuh Dalam Diri Sendiri

Berbicara mengenai keberanian, rasio yang digunakan tentu bukan hanya untuk menghasilkan pengetahuan teoritis, melainkan juga pengetahuan praktis yang disebut sebagai “keteguhan yang berhikmat” (phronesis). Dalam arti ini, pengetahuan diproduksi melalui pertimbangan atau refleksi atas pengalaman sehingga mampu mengontrol epithumia dan thumos. Sehingga, orang mampu memilih secara objektif mana perbuatan yang baik, mulia, dan patut dipuji. Artinya, keberanian tidak boleh mengusung netralitas yang mengosongkan nilai dan moralitas.

Setelah hal tersebut dilakukan, orang mesti meneguhkan dirinya secara stabil. Dengan kata lain, orang akan melaksanakan apa yang menurutnya paling benar dan tak peduli dengan setiap ocehan atau tentangan orang-orang yang tak sepakat dengannya. Dan sikap ini akan tetap ia pegang hingga titik darah penghabisan.

Dalam konteks tersebut, Platon mencontohkan Sokrates yang memilih menenggak racun ketimbang meninggalkan kota Athena. Ia tak takut mati karena ia berusaha untuk menerapkan apa yang menurutnya benar. Juga untuk menunjukkan bahwa tuduhan-tuduhan yang disematkan kepadanya adalah tidak benar.

Kesimpulan

Keberanian pada dasarnya ialah melawan musuh yang ada dalam diri sendiri seperti rasa takut, khawatir, cemas, dan lain sebagainya. Ia bukanlah tindakan heroik yang menyeruak secara sesaat, tetapi tindakan yang justru menuntut integritas diri dan pengendalian sikap. Hal ini sejalan dengan tujuan filsafat menurut Sokrates yakni, merawat diri. Jadi, orang mesti selalu merawat atau mengevaluasi dirinya karena “hidup yang tak dievaluasi, tak layak untuk dihidupi.” (Stg)

Buku ini layak dibaca para pelajar filsafat.

Informasi Buku:

Judul Buku: Lakhes (Keberanian)
Penulis: Platon
Penerjemah dan Penafsir: Setyo Wibowo
Penerbit: Kanisius
Kota: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2021

Kontak Pemesanan : Wahyu – 0898 8210 200

Share :

Baca Juga

Lapas Kelas III Namlea Bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Buru,dalam Pelaksana Vaksinasi
Kombes Pol Retno Prihawati Terima Penghargaan Dari Kepala Kepolisian Filipina Atas Kontribusi Dalam Kerja Sama Hukum RI-Filipina

Jawa Barat

Polresta Cirebon Gelar Jum’at Curhat di Desa Cipeujeuh Kulon
Kapolda NTB Pastikan Kesiapan Pengamanan Jelang MotoGP Mandalika 2024: Ribuan Personel Siap Amankan Gelaran Internasional
Makanan Sehat untuk Kesehatan dan Keamanan: Polresta Cirebon Siapkan Cooling System Menjelang Pilkada Serentak 2024
Kapolres Lebak Terima Kunjungan Kerja Anggota Komisi III DPR RI Dapil Banten.
Diduga Akibat Sakit Hati, Bupati Humbahas Memutasikan Istri Anggota DPRD Sumut Kepelosok Desa Tarabintang
Polresta Cirebon Gelar Silaturahmi Kamtibmas Bersama Forkopimda dan Ulama Se-Kabupaten Cirebon: Wujudkan Kondusivitas Menjelang Pilkada Serentak 2024

Contact Us