Pertarungan Hukum yang Berpotensi Membawa TikTok ke Ambang Pelarangan di AS: Amandemen Pertama dan Keamanan Nasional dalam Fokus
Washington, suararepubliknews.com – TikTok, aplikasi media sosial populer yang digunakan oleh lebih dari 170 juta warga Amerika Serikat setiap bulan, kini menghadapi tantangan besar yang bisa berujung pada pelarangan total. Pada Senin (17/9), pengacara dari pemerintah AS dan TikTok berhadapan dalam sidang pengadilan banding di Washington D.C., di mana TikTok berusaha membatalkan undang-undang yang bisa memaksa aplikasinya ditarik dari toko aplikasi di seluruh negeri.
Dalam sidang di hadapan tiga hakim Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Distrik Columbia, posisi TikTok tampak melemah. Menurut Alan Rozenshtein, mantan pejabat Departemen Kehakiman AS, para hakim tidak terlihat tertarik untuk memberikan kelonggaran hukum kepada TikTok. “Pengadilan tidak tertarik meregangkan hukum demi membantu TikTok,” ujar Rozenshtein, memprediksi bahwa keputusan akan berujung pada kekalahan TikTok dan kemungkinan besar kasus ini akan dibawa ke Mahkamah Agung.
Dasar Hukum Larangan TikTok dan Ancaman bagi Keamanan Nasional
Kasus ini berawal dari undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada April 2024, yang memberi perusahaan induk TikTok, ByteDance, waktu sembilan bulan untuk menjual operasinya di AS kepada perusahaan non-Tiongkok. Jika tidak, TikTok terancam dihapus dari toko aplikasi. Pemerintah AS mengklaim bahwa undang-undang ini diperlukan untuk melindungi keamanan nasional dari potensi ancaman data pengguna yang bisa diserahkan kepada Partai Komunis Tiongkok.
TikTok, bersama dengan sejumlah kreator konten, menggugat undang-undang tersebut pada Mei, dengan alasan bahwa aturan tersebut melanggar hak Amandemen Pertama yang menjamin kebebasan berbicara. Namun, hingga saat ini, pemerintah AS belum menunjukkan bukti bahwa ancaman tersebut benar-benar terjadi.
TikTok Berjuang dengan Argumen Konstitusional
Dalam pengadilan, pengacara TikTok, Andrew Pincus, menyebut undang-undang ini sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurutnya, undang-undang tersebut secara khusus menargetkan TikTok dan berpotensi merampas kebebasan berbicara dari jutaan warga AS. Pincus juga menyatakan bahwa larangan ini didasarkan pada risiko masa depan yang tidak pasti, yang melanggar Amandemen Pertama.
Namun, para hakim tampak skeptis. Mereka mempertanyakan apakah AS bisa melarang kepemilikan media oleh negara asing jika negara tersebut sedang berkonflik dengan AS. Pincus menjawab bahwa masalah kebebasan berbicara tetap menjadi prioritas, meski hubungannya dengan Tiongkok menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.
Keamanan Nasional dan Data Pengguna sebagai Fokus Utama Pemerintah
Pemerintah AS, melalui pengacara Daniel Tenny, menegaskan bahwa data yang dikumpulkan TikTok dari penggunanya sangat berharga bagi musuh asing yang ingin merusak keamanan nasional. Hubungan TikTok dengan pemerintah Tiongkok dianggap sebagai ancaman signifikan, yang memperparah posisi aplikasi tersebut di mata para hakim.
Sarah Kreps, direktur Tech Policy Institute di Cornell University, menyatakan bahwa argumen TikTok tentang Amandemen Pertama mungkin kuat, namun hubungan platform ini dengan Tiongkok tetap menjadi kendala besar. Kreps menambahkan bahwa kasus ini kemungkinan besar akan dibawa ke Mahkamah Agung.
Pengaruh Keputusan Terhadap Demokrasi dan Kebebasan Berbicara
Jameel Jaffer, direktur eksekutif Knight First Amendment Institute di Columbia University, yang mendukung TikTok, menyatakan bahwa larangan terhadap TikTok akan berdampak serius pada kebebasan berbicara dan demokrasi di Amerika Serikat. Ia mengakui bahwa ada kekhawatiran yang sah terkait disinformasi dan pengumpulan data oleh platform media sosial, namun menyarankan agar masalah ini diatasi dengan undang-undang yang lebih transparan dan berbasis privasi, bukan dengan membatasi hak Amandemen Pertama.
Dukungan Publik terhadap Larangan TikTok Menurun
Meski pemerintah AS terus mendorong pelarangan TikTok, dukungan masyarakat untuk langkah ini mengalami penurunan. Berdasarkan survei Pew Research Center, hanya 32% orang dewasa di AS yang masih mendukung pelarangan TikTok, turun dari 50% pada Maret 2023.
Keputusan pengadilan banding ini sangat dinantikan, dan banyak yang memperkirakan bahwa kasus ini akan mencapai Mahkamah Agung. TikTok menghadapi tantangan berat untuk meyakinkan para hakim agar mempertimbangkan kembali keputusan Kongres dan eksekutif terkait potensi ancaman keamanan yang dianggap nyata dari platform ini. **