Home / Tak Berkategori

Rabu, 22 Mei 2024 - 12:12 WIB

Bagaimanakah Cara Korea Selatan  Berhasil Mengatasi Masalah Sampah Makanan?

Dalam hal makanan, dunia menjadi terbagi, seperti dalam banyak hal lainnya, antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin: ratusan juta orang menghadapi kelaparan yang luar biasa, sementara jutaan orang lainnya membuang-buang makanan dalam jumlah yang sangat besar.

Seoul.SuaraRepubliknews.com, – Kontradiksi yang mencolok ini diilustrasikan dalam sebuah temuan PBB baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa rumah tangga di seluruh dunia membuang lebih dari 1 miliar makanan setiap hari pada tahun 2022 di saat lebih dari 783 juta orang, atau sepertiga dari umat manusia, bergulat dengan ketahanan pangan

DIlansir dari Media Anadolu, secara keseluruhan hampir 1 miliar ton makanan terbuang sia-sia pada tahun tersebut, dan sebagian besar dari 631 juta ton atau hingga 60% berasal dari rumah tangga, menurut Laporan Indeks Sampah Makanan UNEP 2024.

Meskipun banyak negara di seluruh dunia masih berjuang untuk mengurangi sampah makanan yang berasal dari rumah tangga, ada satu negara yang dapat menjadi contoh bagi semua negara: Korea Selatan.

Selama tiga dekade terakhir, negara di Asia Timur ini telah menunjukkan bagaimana perubahan dalam skala besar dapat dilakukan, dengan meningkatkan tingkat daur ulang makanan dari minimal 2% menjadi lebih dari 95%.

Pada tahun 2019, ada rata-rata 14.314 ton sampah makanan di Korea Selatan per hari, di mana 13.773 ton, atau 96,2%, didaur ulang. Angka ini meningkat dari tingkat daur ulang sebesar 97% pada tahun 2018 dan 97,1% pada tahun 2017, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan.

Transformasi ini dimulai pada tahun 1990-an ketika Korea Selatan memberlakukan serangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis limbah yang sedang berkembang, kata Doun Moon, seorang peneliti kebijakan di Aliansi Global untuk Alternatif Insinerator (GAIA) yang berbasis di Seoul, kepada media.

Pada pertengahan tahun 1990-an, ketika tempat pembuangan sampah dan fasilitas insinerasi tidak mampu menangani produksi sampah yang terus meningkat akibat urbanisasi, Korea Selatan mulai mengembangkan kerangka kerja menyeluruh untuk pengelolaan sampah, dimulai dengan cara menjadi “salah satu negara pertama yang menerapkan sistem berbasis volume untuk sampah makanan di seluruh wilayahnya,” ujar Doun.

Ini adalah sistem Biaya Sampah Berbasis Volume (VBWF) yang pada dasarnya memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat untuk mengurangi jumlah sampah yang mereka buang dan meningkatkan daur ulang.

Di bawah sistem ini, masyarakat diberikan lima jenis kantong sampah untuk memilah sampah mereka ke dalam kategori yang berbeda, termasuk sampah rumah tangga dan sampah makanan, dan membayar biaya yang berbeda untuk setiap jenisnya.

Setelah keberhasilan ini, Korea Selatan terus melangkah maju dengan melarang penimbunan sampah makanan secara fisik pada tahun 2005, diikuti dengan “kebijakan bayar sesuai yang Anda buang” yang diperkenalkan pada tahun 2014, di tahun yang sama Korea Selatan juga mulai memproduksi biogas dari sampah makanan, yang kesemuanya digabungkan untuk lebih meningkatkan pemilahan dan daur ulang sampah makanan.

Langkah besar lainnya adalah penerapan sistem identifikasi frekuensi radio (RFID), yang merupakan mekanisme tiket digital yang lebih canggih yang memungkinkan orang untuk dikenakan biaya bulanan berdasarkan berat limbah makanan mereka, kata Doun.

Saat ini, sistem RFID sampah makanan telah diperkenalkan di 166 kota, mencakup lebih dari 6,5 juta rumah tangga dan 65% apartemen di negara tersebut.

Salah satu keberhasilan terbesar bagi Korea Selatan adalah pertumbuhan eksponensial dalam mendaur ulang limbah makanan dibandingkan dengan membuangnya ke tempat pembuangan sampah, kata Doun.

Tingkat daur ulang telah meningkat menjadi sekitar 97%, yang merupakan bukti keberhasilan implementasi kebijakan, katanya.

Mengenai faktor yang menyebabkan keberhasilan tersebut, ia menunjuk pada keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, mulai dari pejabat pemerintah hingga kelompok-kelompok lingkungan dan organisasi masyarakat sipil.

Seperti halnya semua perubahan kebijakan besar, Doun mengatakan ada beberapa masalah awal dalam implementasi, dengan kekhawatiran utama pada awalnya adalah bahwa orang akan menggunakan lebih banyak pembuangan ilegal untuk menghindari biaya yang ditegakkan di bawah sistem baru.

Namun, seiring berjalannya waktu, edukasi dan kampanye kesadaran yang dilakukan untuk tujuan khusus ini membantu mengatasi potensi kendala tersebut, ujarnya. (Stg)

Share :

Baca Juga

Tragis SMP Negeri 31 Kota Tangerang Tidak Menerima Dan Bantu Siswa Program Keluarga Harapan (PKH), Ada Apa…?
Prediksi Adhyaksa vs PSIM Yogyakarta: Duel Sengit Berebut Posisi Ketiga Liga 2 di Stadion Sriwedari!
Jelang Perekrutan PKD, Bawaslu Rakor dengan Panwaslu Kecamatan
Bupati Humbahas Terangkan Kepemilikan Lahan Food Estate
Kombes Pol Gidion Arif Setyawan Resmi Jabat Kapolrestabes Medan: Fokus Berantas Geng Motor dan Narkoba
Hotel Santoso Blitar Tempat Perselingkuhan ‘Kepala Desa Aryojeding dengan Warganya’ ini Faktanya
Dikira Akan Ditangkap Dua Pemulung Barang Bekas Diajak Makan Siang Bersama Kapolsek Talun
Skandal Pelecehan dan Kekerasan: Oknum Polisi Pagedangan Kabupaten Tangerang Dilaporkan Warga

Contact Us