Buru, suararepubliknews – Situasi di depan markas Kepolisian Resor (Polres) Buru sempat memanas ketika sekelompok masyarakat tiba dengan membawa sejumlah tuntutan krusial.
Kedatangan mereka dipicu oleh persoalan tambang yang tak kunjung usai di wilayah Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku.
Massa mendesak pihak kepolisian agar segera mengambil tindakan tegas terhadap individu-individu yang mereka anggap bertanggung jawab atas carut-marut aktivitas pertambangan di sana.
Penangkapan segera menjadi poin utama yang disuarakan para pengunjuk rasa.
Isu sentral yang diangkat para demonstran bukan sekadar tentang aktivitas tambang itu sendiri, melainkan dugaan kuat adanya praktik ilegal yang berlindung di balik legalitas semu, serta tuntutan keadilan hukum yang sama bagi semua pihak.
Keresahan masyarakat telah mencapai puncaknya, memicu aksi di depan Polres Buru.
Koperasi Diduga Kedok Perusahaan Besar
Para pendemo secara gamblang mendesak Polres Buru agar secepatnya menangkap tiga nama yang mereka sebutkan secara spesifik, Helana, yang mereka identifikasi sebagai pengurus perusahaan PT Wangsuwai Indo Mining, serta Mansur Lataka dan Ruslan Arif Suamole alias Ucok.
Mereka meyakini ketiganya memiliki peran sentral.
Desakan penangkapan ini beralasan, menurut para pengunjuk rasa, karena aktivitas yang mereka lihat melalui entitas koperasi di lapangan disinyalir kuat belum mengantongi ijin pertambangan yang sah dari pemerintah.
Apabila benar tanpa izin, maka apa yang dilakukan oleh PT Wangsuwai Indo Mining, melalui cara apapun termasuk berkedok koperasi, jelas telah melanggar aturan dan undang-undang yang berlaku di sektor pertambangan.
Sebagai perbandingan tajam atas lambatnya penindakan terhadap nama-nama tersebut, para pengunjuk rasa menyinggung kasus penangkapan lain.
Mereka menyebutkan aktivitas alat berat jenis excavator milik Imbran S Malla di Kali Anhoni beberapa waktu lalu, yang meskipun belum sempat mengangkut atau mengolah material tambang, namun bisa langsung ditangkap dan diproses hukum.
Kontras perlakuan inilah yang memicu pertanyaan keras dari orator di depan Polres Buru.
“Kenapa Ucok, Helena dan Mansur Lataka tidak bisa ditangkap. Ingat masyarakat Indonesia di mata hukum semuanya sama, tidak boleh di bedahkan,” pekik salah satu orator melalui pengeras suara, menyuarakan prinsip keadilan fundamental yang dirasakan terabaikan di Gunung Botak.
Gunung Botak Bukan Sekadar Mineral, Tapi Ruang Hidup
Dalam orasi mereka, para pengunjuk rasa juga memberikan pemahaman mendalam mengenai makna Gunung Botak bagi masyarakat lokal, melampaui sekadar potensi mineralnya.
Dijelaskan oleh orator, Gunung Botak bukanlah hamparan tanah kaya mineral biasa yang bisa dieksploitasi seenaknya, melainkan ia adalah nadi spritual, ruang hidup, serta warisan berharga dari leluhur yang sejak lama menjaga keseimbangan alam di Pulau Buru.
Namun, ironisnya, ruang sakral dan penyeimbang alam itu kini merasa ‘digadaikan’ atas nama pembangunan dan kehadiran entitas yang berlabel koperasi.
Lebih miris lagi, para pengunjukrasa melihat koperasi yang sejatinya mengatasnamakan rakyat justru dituding melanjutkan jejak kolonialisme yang mengakar, bersembunyi di balik narasi ‘kemajuan’ ekonomi.
Selain itu, koperasi-koperasi ini dituduh datang tidak untuk menyejahterakan, melainkan untuk menguasai sumber daya alam secara masif dan, yang terpenting, menyingkirkan pemilik sah atas tanah adat secara perlahan namun pasti.
“Kita di sini melawan bukan karena benci perubahan, tapi karena mereka tahu perubahan yang tidak menghargai sejarah dan identitas hanya akan menjadi kelanjutan dari penjajahan,” tegas orator, menyuarakan perlawanan yang berakar pada nilai-nilai mendasar.
Perlawanan ini, lanjutnya, bukanlah sekadar soal tambang dan keuntungan materi, tetapi jauh di atas itu, ini adalah soal keberlangsungan hidup, menjaga harga diri, dan mempertahankan hak atas tanah yang diwariskan nenek moyang, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.
Perlawanan ini, sambung orator, bukan untuk mengulang luka sejarah penjajahan yang perih, tetapi untuk secara tegas menghentikan warisan kolonial yang belakangan ini disinyalir terus menjelma dalam berbagai bentuk dan bersembunyi dalam rupa koperasi.
Investasi Berkeadilan yang Diharapkan
Prinsip masyarakat, tegas orator, bukanlah anti-investasi. Mereka tidak alergi terhadap investasi yang masuk ke wilayah mereka, namun investasi yang mereka dambakan adalah investasi yang berkeadilan.
Investasi yang bergerak dengan semangat demokrasi ekonomi, yang menghargai hak-hak lokal dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat secara adil, itulah model investasi yang mereka perlukan di Gunung Botak.
Melalui tuntutan yang disampaikan di depan Polres Buru ini, para pengunjuk rasa juga secara eksplisit ingin menyampaikan perhatian serius dan kritik tajam mereka terhadap praktek pertambangan emas di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, yang dianggap telah menimbulkan banyak persoalan dan ketidakadilan.
Mereka berharap kritik ini didengar dan ditindaklanjuti segera.
Dalam pemaparan argumen mereka, dijelaskan oleh orator, belakangan ini terindikasi kuat bahwa koperasi-koperasi yang beroperasi di sana hanya menjadi kedok belaka bagi kepentingan perusahaan-perusahaan besar sebagaimana telah menjadi rahasia umum di level lokal.
Sayangnya, upaya pemerintah yang konon mendorong pengelolaan tambang secara kooperatif justru di lapangan menyisakan banyak persoalan rumit dan merugikan masyarakat.
Mengapa demikian?
Karena koperasi yang dibentuk atas nama masyarakat lokal tersebut pada praktiknya justru dikuasai oleh pihak luar yang datang dengan modal besar dan didukung jaringan kekuasaan yang kuat, menciptakan ketimpangan yang menganga.
Koperasi-koperasi ini diduga kuat hanya berfungsi sebagai formalitas legalitas semata, sebuah topeng hukum, sementara kendali operasional sesungguhnya dan keuntungan utama dari aktivitas tambang justru jatuh seluruhnya ke tangan perusahaan-perusahaan besar yang pandai menyamarkan identitas dan kepentingan mereka di balik bendera ‘koperasi rakyat’.
Akibat dari praktik culas yang berlindung dalam proteksi legalitas semu semacam ini, masyarakat lokal di tanah mereka sendiri justru terpinggirkan.
Mereka hanya menjadi penonton yang getir menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk, atau paling banter, hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar dengan upah minim.
Pendapatan signifikan yang dihasilkan dari aktivitas tambang tidak mengalir secara adil dan merata kepada warga setempat yang merupakan pemilik sah lahan adat tersebut.
Situasi ini, diperparah oleh kesenjangan dalam penguasaan sumber daya alam yang mencolok, memicu konflik sosial yang semakin meningkat di lapisan masyarakat bawah.
Berangkat dari berbagai alasan mendasar yang melatar belakangi argumen penolakan dan keresahan mendalam ini, masyarakat menyampaikan desakan keras kepada Polres Buru.
Daftar Tuntutan Kepada Polres Buru
Mereka mendesak agar Polres Buru segera mengambil tindakan tegas, yaitu menangkap secara terbuka siapa saja pihak yang sebenarnya bermain di balik layar koperasi-koperasi tambang ilegal tersebut.
Penangkapan ini harus diikuti dengan penelusuran tuntas terhadap aliran modal dan pembongkaran struktur pengendali sebenarnya yang selama ini diduga bersembunyi.
Secara spesifik, para pengunjuk rasa kembali menegaskan permintaan mereka kepada Polres Buru untuk menangkap nama-nama berikut yang mereka anggap sebagai aktor utama:
- Helena
- Ruslan Arif Suamole alias Ucok
- Pemilik alat berat berinisial Tiong
Ketiganya diduga kuat menjadi aktor penting di balik masuknya entitas koperasi ke wilayah tersebut dan dimulainya aktivitas penambangan secara masif bahkan sebelum Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sah diterbitkan, menambah bobot pelanggaran yang dituduhkan.
Selain mendesak aparat penegak hukum, masyarakat juga menyampaikan pesan dan harapan kepada lembaga legislatif di tingkat lokal
Mereka percaya bahwa DPRD Kabupaten Buru, sebagai wakil rakyat, masih memiliki kewenangan dan keberanian untuk secara konsisten berpihak pada rakyat yang menderita, bukan hanya terlena pada godaan oligarki yang bersembunyi di balik kedok koperasi demi keuntungan sesaat.
Gunung Botak, pungkas orator dengan nada penuh penekanan, bukanlah sekadar kawasan tambang yang bisa dieksplorasi untuk keuntungan segelintir orang atau perusahaan luar.
Ia adalah ruang hidup masyarakat Buru yang memiliki nilai sakral dan historis.
“Jangan biarkan koperasi dijadikan alat atau kedok eksplorasi oleh segelintir orang yang hanya memikirkan untung tanpa peduli nasib rakyat dan kelestarian lingkungan,” tutupnya, sebuah pesan keras bagi aparat dan semua pihak terkait dengan penanganan masalah tambang di wilayah tersebut. (DHET)