Lebak, Suararepubliknews – Hingga kini, kasus yang terjadi di Desa Kerta, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak, Banten, masih belum menemui titik terang. Baik proses hukum maupun tindakan dari pihak kecamatan belum menunjukkan kepastian, sehingga berbagai opini bermunculan dalam sejumlah pemberitaan media online.
Menanggapi hal tersebut, aktivis Lebak Selatan, Asep Supriatna, menyoroti lambannya penanganan kasus ini, yang dinilai semakin memicu gejolak di tengah masyarakat.
Menurutnya, konflik ini bermula dari berbagai dugaan terhadap oknum Kepala Desa, di antaranya:
– Penggunaan narkoba dan kepemilikan senjata api
– Dugaan korupsi Dana Desa, yang melibatkan istrinya melalui aliran dana ke rekening pribadi
“Sampai saat ini, kasus tersebut masih menggantung tanpa kepastian hukum. Wajar saja jika masyarakat murka dan meluapkan kemarahan dengan menyegel kantor desa,” ujar Asep Supriatna pada Sabtu (7/6/2025).
Akibat konflik yang berkepanjangan, pemerintahan Desa Kerta pun nyaris mati suri, bahkan tahapan Musyawarah Desa (Musdes) dan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus) terancam tidak terlaksana. Hal ini diperparah dengan pengunduran diri sejumlah elemen desa, termasuk BPD, perangkat desa, serta para RT dan RW.
Seorang tokoh masyarakat yang dikonfirmasi oleh aktivis menyampaikan bahwa gerakan ini murni berasal dari masyarakat, yang sudah tidak lagi ingin dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang diduga sebagai pecandu narkoba.
“Kami hanya ingin kejelasan hukum. Tuduhan bahwa kami adalah aktor intelektual yang mengancam atau mengintimidasi masyarakat itu sangat tidak benar. Justru kami ingin proses hukum berjalan transparan,” tegasnya.
Sementara itu, seorang tokoh pemuda Desa Kerta juga angkat bicara, membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa batalnya Musdes dan Musdesus terjadi akibat ancaman dari pihak lain.
“Pemberitaan itu hanya opini pihak yang membela Kepala Desa, seolah-olah kami yang bersalah. Jika Musdesus tetap dilaksanakan, siapa yang akan menjadi pimpinan sidang, sedangkan BPD dan unsur lainnya sudah mengundurkan diri secara tertulis?” jelasnya.
Menurut aktivis, terdapat banyak indikasi permainan dari pihak kecamatan dan aparat penegak hukum, yang dinilai tidak serius dalam memproses kasus ini.
Seharusnya, pihak kecamatan segera menindaklanjuti surat pengunduran diri BPD kepada Bupati, agar SK pemberhentian dapat diproses dan pengurus BPD yang baru segera dipilih.
“Namun, surat pengunduran diri seolah sengaja diendapkan, sehingga konflik semakin memanas. Padahal, biar bagaimana pun, BPD adalah kunci jalannya roda pemerintahan di desa,” ungkap aktivis.
Dengan demikian, diharapkan pihak terkait segera memberikan kejelasan hukum, agar tidak semakin memperparah konflik yang terjadi di Desa Kerta.
(Iwan H)