Latar Belakang Kasus Sterilisasi Paksa
Jepang, suararepubliknews.com – Seorang pria mengungkapkan bahwa dia disterilisasi pada tahun 1957 saat berusia 14 tahun ketika tinggal di panti asuhan. Dia menyampaikan rahasia lamanya kepada istrinya beberapa tahun lalu sebelum dia meninggal, dengan penuh penyesalan karena mereka tidak bisa memiliki anak akibat prosedur tersebut. Hakim Saburo Tokura memutuskan bahwa operasi sterilisasi ini dilakukan “tanpa alasan rasional” dan jelas merupakan diskriminasi terhadap para penggugat karena kecacatan mereka.
Keputusan Pengadilan dan Dampaknya
Pengadilan menyatakan bahwa prosedur tersebut sangat melanggar martabat manusia dan menambahkan bahwa diskriminasi serta pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia ini berlangsung selama 48 tahun oleh pemerintah Jepang, merupakan masalah yang sangat serius.
Pada tahun 2019, sebagai tanggapan atas beberapa putusan pengadilan yang lebih rendah yang menyatakan pemerintah bertanggung jawab, pemerintah menawarkan uang ganti rugi satu kali sebesar 3,2 juta yen (sekitar Rp 282 juta) kepada setiap penggugat. Namun, pada hari Rabu, Mahkamah Agung Jepang menyatakan bahwa kompensasi tersebut tidak memadai untuk menebus penderitaan para korban.
Permintaan Maaf dan Tindakan Pemerintah
Perdana Menteri Fumio Kishida menyatakan “penyesalan tulus dan permintaan maaf yang mendalam” kepada para korban. Kishida mengatakan bahwa pemerintah akan mempertimbangkan skema kompensasi baru yang lebih memadai. Dia juga berharap dapat bertemu dengan para penggugat untuk meminta maaf secara langsung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggapi keputusan pengadilan ini.
Pandangan dari Pengacara Penggugat
Pengacara penggugat, Koji Niizato dan Takehiko Nishimura, menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Hukum perlindungan eugenika telah menciptakan masyarakat yang menganggap orang dengan disabilitas sebagai ‘orang inferior’.” Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk lebih mendorong upaya menghilangkan prasangka dan diskriminasi sebagai tanggapan atas putusan tersebut.
Sterilisasi Paksa dalam Sejarah Jepang
Dilansir dari media APnews, sekitar 10.000 pasien kusta juga termasuk di antara mereka yang disterilisasi saat dikurung di lembaga-lembaga terisolasi. Pada tahun 1996, undang-undang pencegahan kusta dicabut, memungkinkan mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat. Pemerintah telah menawarkan kompensasi dan permintaan maaf kepada mereka atas kebijakan isolasi paksa tersebut.
Selain sterilisasi paksa pada saat itu, lebih dari 8.000 orang lainnya disterilisasi dengan persetujuan, meskipun kemungkinan besar di bawah tekanan. Hampir 60.000 wanita melakukan aborsi karena penyakit keturunan, menambah deretan panjang pelanggaran hak asasi manusia dalam kebijakan eugenika Jepang. (Stg)