Lebak, Suararepubliknews – Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang paling istimewa dalam kalender Islam. Bulan ini tidak hanya identik dengan ibadah haji, tetapi juga menjadi waktu yang populer bagi banyak orang untuk melangsungkan pernikahan.
Meskipun tidak ada ketentuan khusus dalam Islam tentang waktu pelaksanaan pernikahan, tradisi menikah di Bulan Dzulhijjah telah menjadi kebiasaan di kalangan umat Muslim, terutama di Nusantara.
Latar belakang dari tradisi ini bisa jadi berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahkan putrinya, Fathimah, dengan Ali bin Abi Thalib pada awal Bulan Dzulhijjah.
Namun, perlu dicatat bahwa riwayat ini lebih populer di kalangan Syi’ah, sementara riwayat lain menyebutkan bahwa pernikahan tersebut terjadi pada Bulan Rajab.
Bulan Dzulhijjah sendiri termasuk dalam empat bulan haram, yaitu bulan-bulan mulia dalam Islam yang juga meliputi Dzulqa’dah, Muharram, dan Rajab.
Keempat bulan ini telah dianggap suci sejak zaman jahiliyah, karena pada masa itu bangsa Arab sepakat untuk tidak melakukan peperangan selama bulan-bulan tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada jemaah haji dan umrah.
Dalam Islam, tradisi ini kemudian diakui sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 36. Meskipun tradisi bulan haram ini diapresiasi, keyakinan jahiliyah tentang pantangan menikah pada bulan-bulan haji juga turut ditolak.
Tradisi Pernikahan Adat Sunda di Bulan Haji
Di kalangan masyarakat Sunda, pernikahan adat sering kali diselenggarakan pada bulan haji, khususnya di Bulan Dzulhijjah.
Namun, perlu dipahami bahwa tradisi ini tidak memiliki dasar atau keharusan dalam ajaran agama Islam maupun adat Sunda. Pernikahan dapat diselenggarakan kapan saja sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Dikutip dari NU Online tanggal 29 Juni 2022, beberapa alasan yang mungkin menjelaskan mengapa banyak pernikahan adat Sunda digelar pada bulan haji adalah:
Tidak ada larangan dalam Islam untuk menikah di bulan apapun, termasuk bulan haji.
Tradisi masyarakat Sunda yang berkembang dan menjadi kebiasaan.
Kecocokan waktu setelah musim haji yang dapat dimanfaatkan untuk melangsungkan pernikahan.
Faktor ekonomi juga dapat mempengaruhi pemilihan waktu pernikahan.
Upacara pernikahan adat Sunda memiliki rangkaian prosesi tersendiri, seperti “Mapag Panganten”, “Ngeuyeuk Seureuh”, “Sawer Pengantin”, dan lain-lain, yang pelaksanaannya tidak terikat pada bulan tertentu.
Prosesi-prosesi ini memiliki makna yang mendalam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Sunda.
Makna di Balik Bulan Haram
Bulan haram memiliki makna yang mendalam dalam Islam. Bulan-bulan ini dianggap sebagai waktu yang suci dan damai, di mana peperangan dan tindakan kekerasan dilarang. Ini memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk lebih fokus pada ibadah dan kegiatan positif lainnya.
Dengan demikian, pernikahan di Bulan Dzulhijjah bukan hanya sekedar tradisi, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam bagi umat Muslim.
Bulan ini menjadi waktu yang tepat untuk mempererat hubungan keluarga dan masyarakat melalui pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pernikahan yang diselenggarakan pada bulan Dzulhijjah juga diharapkan dapat membawa berkah dan kebahagiaan bagi pasangan yang menikah.
Dengan demikian, pernikahan tersebut dapat menjadi awal yang baik bagi pasangan tersebut untuk membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
Meskipun zaman semakin modern, tradisi pernikahan adat Sunda yang digelar bulan haji tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Sunda, sebagai bagian dari kekayaan budaya dan warisan leluhur.
(Iwan H)