Suararepubliknews.com, Tulungagung 02/09/2022, – Dalam beberapa tahun belakangan ini, bulan september yang seharusnya menjadi bulan sejarah berhubung peristiwa G30 September/PKI telah bergeser menjadi “bulan politik”. Mengapa demikian, adalah hal yang faktuil bahwa akhir akhir ini, pada september selalu berseliweran narasi narasi, konten konten provokasi yang berbau politik.
Ironisnya semua narasi itu berdiri dalam konstruksi sejarah yaitu moment sejarah dimana bangsa ini untuk yang ke 3 kalinya mengalami tragedi nasional pemberontakan PKI (1926,1948,1965), khusus 1926 dilakukan oleh alimin semaun (SI Merah) kepada pemerintah hindia belanda saat itu. Memang fakta menariknya adalah ketiganya selalu terjadi pada penghujung tahun, (12 nopember 1926, 18 september 1948 dan 30 september 1965) atau mungkin inilah yang menjadikan orang berasumsi september adalah bulan buruk, di beberapa belahan dunia kasus kasus black september memang cukup kerap terjadi misalnya (kasus 5 september 1972 dan 11 september 2001), mengapa september?? Waallohualam bi showab.
Namun pada kali ini, saya mencoba mengulik opini pada essensi sejarah sebagai bidang keilmuan, bukan sebagai narasi politik walaupun sejarah pemberontakan ini kental sekali dengan aroma politis oleh karena selalu melibatkan partai politik.
Sejarah, secara etimologi jelas disebutkan merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan peristiwa dan kejadian-kejadian di masa lampau. Sejarah dibangun atas kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan manusia, yaitu menyangkut perubahan yang nyata di dalam kehidupan manusia. Oleh karena sejarah merupakan hal yang telah terjadi pada masa lampau inilah yang menjadikan pembahasan yang menarik, mengapa? (1)Sejarah adalah hal yang sudah/telah terjadi (2) sejarah dibentuk oleh peristiwa (3) peristiwa dibentuk oleh waktu, pelaku, bukti, kronologi dan seterusnya.
Sehingga oleh karena tidak terpenuhinya unsur unsur pembentuk sejarah tersebut yang menjadikan sejarah rentan oleh “pembelokan” sejarah atau yang biasa kita dengar dengan istilah VERSI.
Versi versi sejarah inilah yang kerap kali muncul dan menjadikan sebuah polemik, tatkala masing masing versi mengklaim memiliki bukti dan kebenarannya. Kita ambil saja contoh kembali pada peristiwa pemberontakan PKI 1965, kita menyadari bahwa peristiwa ini memunculkan berbagai versi, diantaranya versi sekretariat negara (buku putih), versi Harold Crouch, versi Cindy Adam, versi CIA, versi angkatan darat (AD) yang sudah pernah saya baca dan masih banyak lagi. Berbagai perspektif ini mengklaim yang paling akurat oleh karena semua didasari oleh bukti dan saksi, namun jangan salah bahwa yang mendominasi tetaplah narasi penulis sejarah itu sendiri, dengan berbagai motifnya. Ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian, khususnya kepada para generasi bangsa ini, agar tidak terjebak dalam lingkaran paparan sejarah bangsa yang justru dapat memperuncing dan memantik perpecahan. Seperti yang sudah dipaparkan diatas, sebagai kaum terdidik kita harus mampu menjadi filter atas hoax hoax sejarah yang dihembuskan untuk tujuan tertentu terutama politik praktis.
Lalu bagaimana kita sebaiknya mensikapi versi versi sejarah bangsa kita?? Satu satunya jalan adalah kembali mendudukkan sejarah kembali sebagai sebuah kecabangan ilmu, yaitu ilmu sejarah. Dengan demikian pertama kali kita membaca/mendengar paparan sejarah kita sudah “dibentengi” dengan pengetahuan dan kemampuan kritik sumber yang menjadi circle sejarah itu sendiri.
Bahwa sumber sumber sejarah langsung adalah pembentuk sejarah yang paling valid, bukti otentik, sumber sumber keterangan, kesaksian para pelaku sejarah akan didudukkan sebagai sumber primer yang bersifat utama, baru setelah itu adalah sumber sekundernya. Misal, dalam peristiwa 30 september 1965, maka yang hendaknya dijadikan rujukan sejarah primer adalah mereka mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa (pelaku), korban/keluarga korban yang mengetahui langsung saat kejadian kemudian mereka mereka yang terlibat langsung dalam upaya upaya penumpasannya, itupun harus dimulai dari strata pengambil keputusan (komando atas), berikut semua bukti bukti otentiknya. Dengan demikian sumber sekunder yang berupa analisis, pendapat, kesaksian tidak langsung dan teori teori kemungkinan, otak atik mathuk bahkan “kata mbah saya” hanyalah pelengkap sejarah yang bersifat tidak valid (pendukung).
Pada tingkatan sumber sekunder inilah yang sangat rentan menimbulkan distorsi dan kerusakan kerusakan sejarah kita, memantik hoax dan justru sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Hoax sejarah yang merupakan pengembangan dari sumber pendukung saja tetapi dipahami sebagai sebuah sumber primer justru hanya akan menjadi kayu bakar perpecahan dikalangan anak bangsa. Apalagi bila paparan sejarah dibuat dan atau disebar luaskan hanya untuk tujuan tertentu diluar yang bersifat keilmuan.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah atas potensi kerawanan sejarah bangsa ini?? Menurut penulis cukup 2 hal, yang pertama adalah mendorong pertumbuhan pendidikan dasar berbasis keagamaan-kebudayaan dan kebangsaan, yang kedua adalah menyusun kurikulum kesejarahan yang obyektif yang bersumber pada otentifikasi dan sumber primer saja serta menambah muatan kurikulum sejarah bangsa sampai pada 40%. (Bersambung)