Suararepubliknews.com Tulungagung 08/03/2022, – Baru baru ini ada sebuah fenomena kolektif yang menarik pemikiran kita, adalah dimana ketika dprd sebagai institusi “perwujudan demokrasi” rakyat menolak pengajuan hearing (dengar pendapat) yang dimohon oleh salah satu LSM di kota ini. Menariknya lagi adalah bila ditilik dari surat jawaban resmi tersebut, terdapat semacam “penolakan halus” dengan “mengembalikan” kepada dinas terkait.
Baiklah, saya rasa tulisan ini akan lebih lengkap bila mengulik dan sekaligus mengingatkan akan dasar hukum akan fungsi dprd.
Merujuk Undang undang nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, lugas disebutkan dalam pasal 148 ayat 1 “DPRD kabupaten/kota merupakan LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH kabupaten/kota yang berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota.”, kemudian secara implisit dalam pasal 149 (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksuyanj da ayat (1)
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah
kabupaten/kota.
(3) Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota menjaring
aspirasi masyarakat.
Sudah sangat jelas diatur dalam 2 pasal itu, semua didasari oleh ayat 1 dan 2 dalam pasar 149, dimana secara lugas terdapat penekanan kalimat “…KERANGKA REPRESENTASI RAKYAT…” dan “…MENJARING ASPIRASI RAKYAT…”, artinya justru permohonan hearing ini adalah upaya rakyat untuk mendorong berjalannya fungsi itu.
Lalu pertanyaan bodoh yang sering terlontar dengan sinis adalah RAKYAT YANG MANA?? Maka menurut penulis, essensi bukan pada kata “rakyat”nya, tetapi substansi masalah yang dimohonkan, sedangkan problematika yang akan dibahas memang pada dasarnya adalah kepentingan publik yaitu program bantuan siswa miskin (BSM) yang notabene adalah kepentingan publik.
Dprd, parlemen, dewan kota dan atau apapun sebutannya adalah sebuah institusi hasil dari proses politik dalam demokrasi. Sudah jelas disini bahwa individu di dalamnya adalah produk dari partai politik. Sedangkan politik sendiri hanyalah sebagai sebuah seni, seni memimpin, berkuasa, berkomunikasi, mempengaruhi dan lain sebagainya tanpa mengenal “hitam dan putih” alias dibuat sedinamis mungkin.
Dalam politik dikenal apa yang dinamakan dengan retorika, sayangnya hal ini tidak banyak dipahami oleh semua orang. Adalah ketika janji manis saat kampanye selalu dituntut untuk direalisasikan. Secara etimologi, retorika adalah hanyalah sebuah teknik pembujuk-rayuan menggunakan persuasi untuk menghasilkan bujukan baik terhadap karakter pembicara, emosional, atau argumen, istilah kerennya hanyalah lips service saja. Bagaimana tidak ketika menjelang kampanye, mendadak partai politik bak pabrik kata kata dan calon legislatif sebagai corongnya. Menurut (Sunarjo, 1983:55), retorika memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk mencapai kebenaran, atau kemenangan bagi suatu pihak,untuk meraih kekuasaan, sebagai alat persuasi yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Dengan demikian sudah jelas bagi rakyat untuk memahami soal ini khususnya menjelang tahun tahun politis.
Soal “pengingkaran hati nurani rakyat”, dimana wakil rakyat sudah bukan merupakan representasi dari tuntutan rakyat, pernah terjadi dalam sejarah kita sebagaimana dikenal dalam peristiwa 62 yang dimotori oleh AD (dalam kendali kol. AH Nasution/kasad saat itu), adalah ketika tentara melihat perilaku politik yang sudah tidak berjalan pada koridornya, masa demonstrasi dengan kawalan tentara dan mocong meriam siap tembak ke istana presiden menuntut pembubaran parlemen dalam rangka stabilitas politik pemerintahan nasional, perlu diketahui pada era itu gontok2an partai politik dipandang sudah pada tahap yang tida…