Kasus Penganiayaan di Saparua Diselesaikan Melalui Keadilan Restoratif: Permintaan Maaf dan Perdamaian Menjadi Kunci Utama
Ambon, suararepubliknews.com – Wakil Kejaksaan Tinggi Maluku, Dr. Jefferdian, bersama timnya, menerima usulan penghentian penuntutan terhadap tersangka “DS” dalam perkara penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Pengajuan permohonan tersebut dilakukan melalui video conference dari Kantor Kejaksaan Negeri Ambon di Saparua, Senin, 23 September 2024. Usulan ini disampaikan oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Ambon di Saparua, Achmad Bhirawa Bissawab, S.H., M.H, dan langsung mendapat persetujuan dari Direktur Oharda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H.
Latar Belakang Kasus Penganiayaan dan Kesalahpahaman Antara Tersangka dan Korban
Kasus ini bermula dari dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka “DS”, seorang ibu rumah tangga, terhadap korban “MM” di Negeri Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Tersangka diduga menyerang korban karena mencurigai adanya perselingkuhan antara korban dan suaminya. Namun, setelah dilakukan klarifikasi lebih lanjut, terungkap bahwa insiden tersebut hanya merupakan kesalahpahaman. Menyesali tindakannya, tersangka “DS” segera meminta maaf kepada korban “MM” dan keduanya sepakat untuk berdamai.
Menurut Kasi Penkum dan Humas Kejaksaan Tinggi Maluku, Ardy, S.H., M.H, tersangka dan korban memiliki hubungan bertetangga yang dekat, sehingga permohonan penghentian penuntutan melalui pendekatan Keadilan Restoratif dapat dilakukan. “Tersangka menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada korban, dan karena adanya hubungan tetangga yang dekat, mereka sepakat untuk berdamai,” ujar Ardy.
Keadilan Restoratif: Pertimbangan Yuridis dan Penghentian Penuntutan
Proses penghentian penuntutan ini didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif, yang menyebutkan bahwa tindak pidana dapat dihentikan penuntutannya jika tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tersangka dan korban sepakat untuk berdamai, serta ancaman hukuman dalam perkara tersebut kurang dari 5 tahun penjara.
Ardy menjelaskan bahwa berdasarkan pertimbangan yuridis dan kesepakatan damai antara tersangka dan korban, pihak Kejaksaan Agung dan Wakil Kejaksaan Tinggi Maluku setuju untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut. “Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidananya di bawah 5 tahun, dan korban telah menerima permintaan maaf tersangka. Oleh karena itu, penghentian penuntutan disetujui berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif,” tambah Ardy.
Persetujuan Kejaksaan dan Harapan Perdamaian
Dengan persetujuan penghentian penuntutan ini, diharapkan dapat terwujud perdamaian yang lebih kuat antara tersangka dan korban, serta memulihkan hubungan bertetangga yang sempat retak. Langkah ini juga diharapkan menjadi contoh bahwa penyelesaian perkara melalui jalur Keadilan Restoratif dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan masyarakat, terutama dalam kasus-kasus yang berlandaskan pada kesalahpahaman dan penyesalan.
Kasus ini menandai salah satu upaya Kejaksaan Tinggi Maluku dalam mengedepankan prinsip Keadilan Restoratif, yang tidak hanya menghukum pelaku tindak pidana, tetapi juga memperhatikan unsur pemulihan hubungan sosial dan perdamaian antarwarga. (Mzr/Stg)