Suararepubliknews.com Tulungagung 09/03/2022, – Opini tentang perbedaan alokasi kegiatan dalam APBDes/P dengan LK BPK di Tulungagung
Muhammad Hatta pernah menjelaskan; setidaknya ada 4 sifat dan karakteristik korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), yaitu : (1) terorganisasi dan sistematis (2) dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga pembuktian tidak mudah (3) berkaitan dengan kekuasaan dan (4) terkait dengan nasib orang banyak/publik/umum
Pemerintahan Desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan Indonesia yang tidak lepas dari kewenangan yang diberikan yakni otonomi desa yang di arahkan pada penguatan dan pengelolaan potensi lokal desa serta memberi ruang pada prakarsa lokal menuju kemandirian desa. Sebagaimana kita ketahui keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa. Di definisikan dengan jelas bahwa Desa, adalah satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Background bagi penulis untuk mengangkat ini adalah temuan rekan rekan aktivis di kabupaten kita yang sekiranya pantas mendapatkan perhatian dari penyelenggara negara. Apakah itu? Temuan ini cukup menarik karena terdapatnya perbedaan alokasi kegiatan (khususnya yang bersumber dari Bantuan Keuangan) yang dilaporkan Pemdes melalui Kemendes dalam RAPBDes/P nya dengan laporan keuangan hasil pemeriksaan oleh BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Tulungagung. Aneh bukan? Ketika “aturan main” masing masing sudah diatur, mengapa hal ini dapat terjadi? Residu pertanyaan lain yang mengendap adalah bukankah hal semacam ini tergolong maladministrasi? Apakah dengan perbedaan kegiatan ini tidak rentan tipikor? Dan pertanyaan kritis lain atas kejanggalan ini.
Dalam UUD 1945 amandemen ke 3, Pasal 23 E disebutkan pada ayat (1)untuk pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Sedangkan pada ayat (3)Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Lebih spesifik lagi diterjemahkan dalam UU no 15/2006 tentang BPK, disebutkan BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Pemeriksaan dimaksud diatas mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terlebih dalam Pasal 10 UU ini, (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukanoleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yangmenyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Sampai disini, memperhatikan paparan dan perundang-undangan diatas muncul pertanyaan menyelidik, apakah asas akuntabilitas, asas tertib pemerintahan dsb selama ini tidak mendapatkan controlling? Bila sudah, faktanya mengapa terjadi perbedaan laporan di beberapa desa misalnya terkait penerangan jalan umum, taman bermain, ruang terbuka hijau,saluran air dst. Lucunya tuh disini, bahwa terkait pembinaan dan pengawasan pemdes Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama jajaran pemerintahan diatasnya lah yang berkewajiban membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bahkan pada tingkat ini, pemkab berhak memberikan sanksi atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Bila demikian, bagaimana permasalahan ini dapat kita urai dengan profesional ketika kita dihadapkan pada permasalahan seperti ini yaitu ketika laporan masing masing jelas berbeda dan tidak diketahui mana yang valid?? Absurd bukan? Ataukah sengaja dibuat berbeda? Apa tujuannya? (Sedangkan kelalaian saja dapat menyebabkan punishment bagi penanggungjawabnya)
Terlepas dari soal kecenderungan maladministratif, bantuan keuangan kepada desa adalah dana bantuan langsung yang dialokasikan kepada Pemerintah Desa yang digunakan untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat, kelembagaan dan prasarana desa yang diperlukan serta diprioritaskan oleh masyarakat, namun realitasnya bahwa dalam pelaksanaan kebijakan pemberian bantuan keuangan
kepada desa terutama dalam pengelolaan ditingkat desa masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan rendahnya pelibatan masyarakat (padat karya). (Bersambung)
(Penulis tanpa gelar)…Kbt