Albiner Sitompul
Sibolga, Suararepubliknews – Saya Albiner Sitompul beralamat Di Dusun III Parbustangan, Desa Tapian Nauli Saurmanggita, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Parbostangan mempunyai arti, kampung yang kuat, dibuka oleh Oppung Kami Raja H. Hobol Batu Sitompul, dan menjadi pemimpin dikampung itu, Raja ni Huta, hingga masa pemerintahan RI, menjadi Kepala Desa pertama.
Dusun ini dahulu masuk dalam wilayah kekuasaan Oppung Raja Jumantang I Sitompul, nama kerajaannya adalah Saur Manggita, pusat kampung di Lobu Sibuttuon meliputi Lobu Parriasan, Lobu Mardangiang, Lobu Tapian NauliI dan Lobu Bariba (Huta Aek Godang).

Perkembangan pemukiman di Lobu Tapian Nauli lebih pesat, karena masyarakat pendatang lebih memilih bermukin di Tapian Nauli, maka dijadikan Oppung Hobol Batu menjadi Pusat Pemerintahan desa, Tapian Nauli Saur Manggita.
Ayahku seorang Veteran RI, gagah dan cerdas walau dia tidak pernah duduk di bangku sekolah, dia terus belajar menulis dan berhitung (Matematika) sambil memelihara kerbau, setelah dewasa dia manderes kemenyan dan karet.
Ayah kami H. Djarongga Sitompul (anak muda dalam kisah ini) mengisahkan pertemuan dengan Umak kami, Hj.Riana Boru Panggabean (Gadis Pahae) di Parbostangan, ketika itu saya masih Taruna Akademi Militer pangkat Sersan Taruna (Tkt II), mungkin karena saya sering ziarah sampai sekarang ke Parbostangan.
Begini kisahnya, pertama sekali Ayah kami bertanya, “Tahukah kau siapa yang pertama kali saya lihat di kampung ini? Gadis Pahae itu diam dan memandang kea rah Bintang, pada saat itu hanya satu yang bersinar besar, lalu dia berkata, mungkin dia Bintang itu?
Malam itu, baru selesai acara pernikahan pemilik Bagas Godang dengan istrinya yang ke tiga Rosti Boru Sihombing, setelah beberapa tahun menduda ditinggal istrinya yang ke dua.
Kemudian anak muda itu meninggalkan pertemuan itu, karena halayak semakin makin ramai, walau dia hanya mendapat jawaban perumpamaan, ‘Bintang’.
Esok harinya, sekembali dari menderes pohon karet, anak muda itu, langsung mengolah getahnya menjadi latek.
Sambil menyelesaikan pekerjaanya, tiba-tiba adeknya datang menghampiri dan menyapa, “godang dapot itong”?
Rasa gembiranya hadir kembali, ada kesempatan melihat gadis Pahae yang datang Bersama adeknya.
Mereka berjalan Bersama-sama menemani Nyonya pemilik Bagas Godang, jalan sore-sore sambil melihat kolam ikan. 2
Ini cerita asli yang belum pernah dijadikan pengarang dalam novel.
Kesempatan untuk melanjutkan nonang dengan gadis Pahae pun tak dapat, adekenya melanjutkan percakapannya, “itong maronan do itong marsogot?, alana ayya dan maronan”, besok maksudnya adalah hari kamis, hari Pasar , masyarakat menelenggarakan jual beli di Huta Nabolon, dan ada juga di Pasar Tukka, di dekat kantor Kecamatann.
Kemudia anak muda permisi meninggalkan pertemuan itu, untuk mendapat jawaban maronan, harus segera minta arahan kepada ayahnya.
Dia pun bertemu dengan pemilik Bagas Godang, Ayya au ma maronan marsogot dohot si Kunci? Olo mang, unang lupa hamu mamboan haminjon I tu si Simatupang ( Pengumpul Kemenyan).
Beberapa saat kemudian, Nyonya datang menghampiri, karena ada sesuatu yang akan dibelinya di Onan, Dohot au maronan da Oppung Baheran, kemudian Gadis Pahae pun ikut nimbrung menyampaikan hajatnya, setelah Nyonya menyampaikan hajatnya, boi au dohot amang boru?
Anak Muda pun senanglah hatinya, ada kesempatan marnonang, kemudian , tiba tiba anak muda tersentak, waduh, mendengar kalimat oppugn Baheran dari balik pintu, Pesti… dongani Inangmu maronan dohot edamu si Ria marsogot, ate inang !, olo Ayya, alai eda mangido to Sibolga mangida laut (ombak) di Pandan. Dahulu Pandan masuk kecamatan Sibolga.
Esok harinya, berdagang ke Pasar Tukka pun selesai, kemudian anak muda kembali ke Parbostangan melaporkan hasil dagangan kemenyan ke Oppung Baheran, Ayya indi on hepeng panggadis haminjon, sadia mang, 83 Juta, Saat itu harga 1 (satu) geram emas 4 Rupiah sekitar tahun 1954, Alhamdulillah, guman oppung, ma boi ta pakke tu Pahae
Anak muda heran, terus bertanya, ulaon aha Ayya? Malungun inang mu tu Pahae, tibu mai ayya? Namun hati anak muda senang kalau dia ikut.
Adong hepeng hu manggadis horbo minggu na salpu , dohot au da Ayya? Tanya Anak muda, Oppung langsung menjawab, bagak mai, bolo boi, hita sukkun si Ria tu Ayya na, Lae Khalifah Malim Panggabean.
Unang Lupa ho da mang, orahon si Kunci, asa adong dongan mu mamboan “sira”, naeng hita gadis tu Tokke sira di Sarulla, asa adong hepeng manuhor haminjon sian Pahae, mura. Olo ayya, jawab anak muda dengan semangat.
Tiba waktu akan berangkat ke Pahae, namun anak muda belum punya kesempatan untuk marnonang dengan gadis Pahae.
Rombongan pun berangkat dengan Dongan Tubu dohot Boru, membawa cindramata dan makanan serta uang, dengan menggunakan kuda beban untuk membawa barang dagangan. 3
Tiba di Pahae, Lobu Harambir Janjiangkola (Sekarang masuk kecamatan Purba Tua), acaa Manuruk-nuruk pun (rindu Orng Tua Nyonya) dilaksakan dengan baik penuh kemesraan dan keharmonisan.
Setelah acara manuruk nuruk, mereka bermalam di Rumah Kampung Bontis Sitompul di Lobu Harambir, kemudian bermusyawarah untuk meminang boru Khalifah Malim Panggabean. Setelah musyawarah selesai, Bontis Sitompul berjanji segera akan menemui Khalifah Malim Panggabean.
Esok harinya, Bontis Sitompul berangkat ke rumah Khalifah Malim Panggabean di Janji Maria, sedangkan Oppung dan anak muda menjual garam ke Sarulla sekalian membeli Kemenyan untuk di bawa ke Parbostangan.
Setelah selesai berdagang, oppung kembali rumah Bontis Sitompul di Lobu Harambir, pada saat itu, Bontis Sitompul sudah berada di Rumahnya, Selesai meminang Ria Boru Panggabean.
Tidak berpikir lama, kesempatan sudah berada di Pahae, dimanfaatkan oppung untuk acara pernikahan, namun permintan Khalifah Malim Panggabean, agar sowan lebih dahulu ke Rumah Tuan Syech H. Ibrahim Sitompul di Janji Nauli guna mendapat pasu-pasu sebelum pernikahan.
Setelah tiba di Rumah Tuan Syech H. Ibrahim Sitompul, Khalifah Malim Panggabean menyampaikan kalimat pembukaan, melaporkan kepada Tuan Syech, “Indi on Tulang Tuan Syaech, calon hela naeng menikah dohot si Ria”, Bagak mai, jawab Tuan Syech, “Naburju do Si Djarongga on, jala bisuk do on”.
Acara Demi Acara,selama seminggu di Pahae, Oppung dan rombongan beserta Ria Boru Panggabean kembali ke Parbostangan.
Ini ceritanya nyata tentang Pahae, Lobu Sibuttuon dan Hutanabolon ada jalan yang dilintasi Kuda Beban dan Manusia hingga 1971 dan terjadi transaksi kemenyan yang besar, sampai Oppung H. Raja Hobol Batu Sitompul meninggalkan Parbostangan, pindah ke Sibolga, karena musibah kebakaran.
Oppung Raja H. Hobol Batu Sitompul meninggal di rumahnya, di atas tanah yang dibelinya dari Ibu Rosnah Boru Pasaribu, Jl. Elang Sibolga pada 13 Pebruari 1981.
Sebelum meninggal, dia berpesan minta dimakamkan di Parbostangan dengan acara tembakan kehormatan untuk pejuang.
Di Lobu Sibuttuon ditemukan makam Oppung Jumantang I Sitompul, Oppung Guru Mangaloksa Sitompul dan Oppung Guru Manoktang Sitompul.
Ditempat lain, ditepi Sungai Aek Godang ditemukan Makam Oppung Jumantang II Sitompul, Oppung Raja Hatorusan Sitompul, dan Oppung Raja Hoda Sitompul.
Sedangkan Oppung Baganding Tua Sitompul yang membuka kampung di Lobu Bariba, anak bungsu Oppung Sutan Bodiala Sitompul yang merantau dari Pahae, Sitolu Oppu, belum ditemukan makamnya di Huta Aek Godang.( Sukryadi sitompul ).










