Tangerang, suararepubliknews.com – Selasa, 8 Juli 2024, aksi protes para orang tua siswa yang mengeluhkan praktik tidak sehat dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan mahalnya ongkos pendidikan kembali mencuat. Puluhan orang tua siswa mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, khususnya sistem PPDB di sekolah negeri.
Kekecewaan Orang Tua Siswa
Beragam isi curahan hati mereka dituangkan dalam bentuk kekecewaan, mulai dari pesan “jangan ada jatah orang dalam di sekolah”. Ketua DPD LSM Garuda Nasional, Guntur Hutabarat, meminta pemerintah menghentikan sistem kompetisi tidak sehat dalam perebutan kursi sekolah.
Ancaman Putus Sekolah Akibat Sistem PPDB
Guntur menjelaskan, sistem rebutan kursi PPDB ini membuat banyak anak putus sekolah karena tidak lolos ke sekolah negeri. Keterbatasan ekonomi membuat orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. “Mereka saat ini terancam putus sekolah karena terkendala mahalnya biaya di sekolah swasta. Bahkan, tak sedikit dari mereka adalah anak-anak penerima KIP dan KJP yang gagal di berbagai jalur PPDB,” kata dia kepada wartawan di lokasi.
Pentingnya Pendidikan Gratis
Guntur menegaskan, sekolah bebas biaya harus disuarakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya. “Amanah konstitusi ini dipertegas lagi dalam Pasal 34 UU Sisdiknas, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa memungut biaya,” lanjutnya.
Kolaborasi dengan Sekolah Swasta
Ia menyarankan pemerintah bekerjasama dengan sekolah swasta agar semua anak bangsa punya hak yang sama. “Tidak boleh lagi ada istilah gagal PPDB, karena semua anak harus kebagian kursi. Jika daya tampung sekolah negeri minim, maka pemda wajib melibatkan sekolah swasta,” tegasnya.
Kecurangan dalam Proses PPDB
Diketahui, sistem PPDB membuat sejumlah pihak melakukan kecurangan. Ada temuan “siswa titipan” yang masuk PPDB serta pemalsuan data di kartu keluarga. Contohnya, SMAN 1 yang berjarak 530 meter dikelilingi perkantoran, sementara SMAN 2 Kota Tangerang yang berjarak 750 meter tidak memiliki pemukiman di sekitarnya. “Dari mana siswa mereka?” tanyanya. “Calon siswa dari Tanah Tinggi tidak ada yang diterima di SMAN 2 meski jarak mereka paling dekat.”
Kurangnya Tindakan Hukum
Saat ini tidak ada instrumen untuk menindak, karena kejaksaan dan kepolisian belum terlibat. “Padahal ini jelas pelanggaran,” kata Guntur. Ia menyayangkan tindakan ilegal seperti penggunaan ijazah palsu, pemindahan alamat, atau penggunaan kartu keluarga palsu dalam proses PPDB. “Masing-masing daerah harus segera mempelajari kasusnya. Jika kasusnya berulang, berarti pemerintah ada pembiaran.
Aksi protes ini menggambarkan betapa pentingnya transparansi dan keadilan dalam sistem pendidikan, serta perlunya tindakan nyata dari pihak berwenang untuk memastikan setiap anak mendapatkan hak pendidikan yang layak. Semoga suara para orang tua ini didengar dan membawa perubahan yang positif dalam dunia pendidikan kita. (Rosita)