Oleh : Peter Sanjaya, Korwil LSM Pijar Keadilan dan Demokrasi Kepulauan Nias
Gunungsitoli-www.suararepubliknews.com
Aset desa merupakan barang milik desa yang bersumber serta diperoleh dari APBDesa atau sumber keuangan negara lainnya yang sah. Pengelolaan aset desa dilaksanakan dengan adanya perencanaan, pengadaan, pengawasan serta pengendalian agar terhindar dari berbagai permasalahan-permasalahan. Salah satu kasus terkait pengelolaan aset desa antara lain pemanfaatan aset desa oleh pejabat desa tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dilakukan dengan menciptakan suatu kondisi dimana pengelolaan aset “untuk sementara waktu” ditangani hanya satu pihak saja dalam hal ini Kepala Desa.
Penciptaan kondisi tersebut sangat berpotensi besar dilakukan oleh Kepala Desa dengan melakukan pengangkatan pengurus yang tidak sesuai dengan persyaratan. Dalam hal ini persyaratan yang ditentukan untuk menjadi pengurus Bumdesa adalah minimal tamatan SMU/ Madrasah Alliyah/ SMK atau sederajat namun Kepala Desa menetapkan Ketua Bumdesa hanya tamatan SMP. Jelas hal ini sangat bertolak belakang dengan aturan yang ada sehingga SK pengurus dengan sendirinya “tertahan” ditangan Kepala Desa dan tidak segera diserahkan kepada pengurus-pengurusnya.
Dari sini tercipta peluang Kepala Desa untuk melakukan pengelolaan aset desa dengan meminjam-pakaikan aset desa kepada pihak-pihak yang dapat diajak kerjasama. Misalkan aset desa tersebut jenis kendaraan bermotor roda empat dan disewakan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per hari tidak termasuk didalamnya bahan bakar. Nilai sewa tersebut jika dikumulasikan dalam beberapa bulan maka setidak-tidaknya Kepala Desa dapat meraup keuntungan yang cukup menggiurkan tanpa adanya dokumen pertanggungjawaban keuangan kepada siapapun. Jelas hal tersebut dapat dilakukan jika seseorang berada pada posisi tersebut, ketimbang aset desa terduduk tidak dimanfaatkan sama sekali. Hal tersebut sangat jelas terpantau dan dapat di monitoring langsung oleh masyarakat desa tanpa mampu berbuat suatu yang bersifat protes kritis karena tentunya berdampak pada pengurusan surat-surat administrasi kependudukannya kelak.
Mendasari potensi terjadinya peluang korupsi dan/ atau penggelapan dana desa tersebut, sudah semestinya negara memberikan pendidikan, pelatihan, bimbingan teknis kepada masyarakat pegiat pembangunan untuk dapat melakukan pengawasan secara melekat sehingga penggunaan/ pengelolaan aset desa dapat terlaksana dengan baik dan semestinya.
Dalam hal aset desa yang bersumber dari penyertaan keuangan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), maka secara hukum wajib dipertanggungjawabkan pengelolaannya. Terlebih jika Bumdes yang telah terbentuk tidak berbadan hukum, maka pelaksana operasional, penasihat, dan dewan pengawas secara bersama-sama ikut bertanggung jawab sampai harta pribadi atau disebtu juga tanggung jawab pribadi. Namun bagaimana jikalau pengelolaannya dilakukan oleh seorang Kepala Desa yang sama sekali tidak berdasarkan aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
Mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2016, pengelolaan aset desa meliputi perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamana, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Tindakan pengelolaan tersebut dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 72, Ayat (1) huruf a dijelaskan yang dimaksud dengan Pendapatan Desa adalah pendapatan yang bersumber dari pendapatan asli desa yang terdiri atas hal usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa. Yang dimaksud dengan hasil aset adalah hasil yang diterima dari pengelolaan aset desa. Jadi segala hasil dari sewa aset desa harus dilaporkan sebagai penerimaan APBDes dan selanjutnya dikeluarkan menjadi penghasilan bagi kepada desa sebagai tunjangan seperti yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 82.
Namun persoalan yang timbul adalah siapa yang mencatat dan melaporkan hasil operasional aset desa apabila pengurus Bumdes terpilih tidak bisa melaksanakan tugasnya karena Surat Keputusan Pengangkatan sengaja ditahan-tahan oleh Kepala Desa? Karena penyewaan terhadap aset desa seperti mobil pick up tentunya membutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit, dan apakah hal itu dibebankan kepada APBDes?
Dalam KBBI, definisi sewa adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang dengan tempo waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa ada pendapatan sewa yang diterima, maka biaya pemeliharaan ditanggung oleh pihak yang menggunakan aset tersebut sebagaimana dimaksud pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 12, ayat (3), huruf d. Secara gamblangnya, dalam Permendagri tersebut dijelaskan tentang sewa aset desa dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat :
a. para pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. objek perjanjian sewa;
c. jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa dan jangka waktu;
d. tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa;
e. hak dan kewajiban para pihak;
f. keadaan di luar kemampuan para pihak (force majeure); dan
g. persyaratan lain yang di anggap perlu
Jika mengacu pada ketentuan tersebut, maka bentuk sewa aset desa seyogyanya tertuang dalam Surat Perjanjian Sewa antara Pengurus Bumdes dan pihak penyewa.
Nah, pertanyaannya adalah bagaimana jika pada akhir tahun, Desa menyusun laporan kekayaan bersih desa yang berisi aset (lancar dan non lancar), kewajiban (jangka pendek dan jangka panjang) dan selisihnya kepada Bupati melalui camat setiap akhir tahun anggaran dan/ atau sewaktu-waktu apabila diperlukan?. Laporan ini adalah laporan hasil pengelolaan kekayaan desa yang merupakan bagian dari laporan pertanggung jawaban keuangan.
Saya berpikir bahwa hal ini membutuhkan pengawasan ekstra melekat dari masyarakat atas pengelolaan hasil operasional aset desa. Karena hal ini sangat rentan menjadi corong korupsi dan/ atau penggelapan yang dilakukan oleh Kepala Desa. Dengan adanya pengawasan ekstra melekat ini, maka pemangku kepentingan di desa pun akan berpikir sehat dan jernih jika memiliki niat melakukan hal buruk sekalipun dalam lingkup desa masih kental hubungan kekerabatan.
Ini hanyalah sepenggal saran/ masukan sebagai pengantar laporan pengaduan rekan-rekan pengiat anti korupsi kepada penegak hukum apabila terdapat adanya penyalahgunaan dana hasil operasi aset desa disekitar kita atau dimanapun terjadi.
(ML)